Langsung ke konten utama

KIPRAH GEREJA-GEREJA DI INDIA DAN SRILANKA DALAM MEMERANGI KEMISKINAN ABAD XIX DAN XX


Gambaran Umum Kemiskinan di Asia            
Benua Asia sangat terkenal dengan realitas kemajemukannya. Kemajemukan ini bermacam-macam bentuknya, mulai dari bahasa, agama, suku, budaya, dan sebagainya. Di antara kemajemukan tersebut, Aloysius Pieris menyebutkan ada dua macam realitas besar di Asia, yaitu kemiskinan dan religiositas (Pieris 1988, 69). Dua macam realitas besar ini tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan masyrakat Asia.

Kemiskinan dan orang miskin dapat ditemukan di banyak negara-negara Asia. A. A. Yewangoe menyebutkan bahwa lebih dari tiga perempat kaum miskin hidup di Asia. Selain itu, tidak dapat dipungkiri bahwa bangsa Asia adalah bangsa yang religius pula. Kebanyakan agama saat ini yang dikenal oleh manusia berasal dari Asia, misalnya Islam di Arab, Hindu dan Buddha di India, kekristenan di Asia Barat. Oleh karena itu, masalah kemiskinan yang dialami biasanya dikaitkan juga dengan keberagamaan manusia (Yewangoe 1996, 1).        

Dengan adanya realitas kemiskinan, gereja-gereja di Asia berusaha menunjukkan kehadirannya dalam memerangi kemiskinan melalui pelayanan yang dilakukan. Pelayanan yang dilakukan gereja, salah satunya, dapat terlihat melalui perjalanan sejarah gereja tersebut dalam membantu masyarakat miskin.
Kiprah Gereja-gereja di India Memerangi Kemiskinan            
Pada abad ke-19, umat Kristen di India terdiri dari tiga macam golongan. Pertama, gereja Katolik Roma, yang merupakan hasil penginjilan Portugis mulai abad ke-16, berpusat di Goa dan pantai Prava. Kedua, orang Kristen Siria (gereja Mar Toma) di Kerala, India Selatan. Ketiga, gereja Protestan di India Selatan (Ruck 1997, 118). Kekristenan yang berkembang di India pada abad ke-19 sebetulnya dibawa oleh beberapa negara-negara besar di Eropa, seperti Portugal, Perancis dan Inggris.


Pada abad ke-19 ini, India dipimpin oleh kekaisaran Mogul, namun kekaisaran ini mengalami kemerosotan. Banyak raja-raja di India sering berperang satu dengan yang lainnya sehingga mengakibatkan kekacauan di India. Situasi seperti ini dimanfaatkan dengan baik oleh Inggris yang pada saat itu menjajah India. Perusahaan perdagangan Inggris yang bernama East India Company (EIC) memanfaatkan situasi tersebut untuk menambah pengaruhnya di India. Perusahaan ini membantu sebagian raja-raja India untuk melawan raja-raja India lainnya. Tujuan utama pihak Inggris untuk membantu sebagian raja-raja India sebetulnya adalah untuk memperoleh kekayaan India. Dapat dikatakan bahwa ketika raja-raja India dibantu oleh Inggris, maka mereka harus membayar sejumlah uang kepada pihak Inggris (Ruck 1997, 119). Hal ini pun selanjutnya menjadi salah satu faktor kemiskinan yang ada di India.

Pihak Inggris yang datang ke India tidak memikirkan untuk melakukan pekabaran Injil pada masyarakat India. Mereka lebih fokus untuk mendapatkan kekayaan India. Namun, hal ini mulai berubah tahun 1813. Pada waktu itu ada desakan dari golongan Kristen evangelikal yang memberi tekanan kepada EIC melalui parlemen Inggris untuk memberikan kesempatan melakukan pekabaran Injil. Sejak saat itu, maka pekabar Injil pun mulai datang ke India dan sekolah-sekolah Kristen pun dibiayai juga oleh pemerintah (Williams 1975, 250). Kehadiran pekabar Injil di India, memberikan perkembangan terhadap kekristenan. 

Sebagai contoh, pada tahun 1851, gereja Protestan menempatkan 339 orang pendeta di India dan saat itu orang Kristen diperkirakan berjumlah 90.000 orang. Pertumbuhan orang Kristen Protestan ini pun semakin banyak hingga tahun 1914, diperkirakan terdapat 1 juta orang Protestan yang sudah di baptis. Orang-orang India yang menjadi Kristen ini kebanyakan berasal dari masyarakat bawah (orang miskin) yang berada di India Selatan (Ruck 1997, 124).

Namun demikian, menarik untuk melihat realitas sosial kehidupan masyarakat India pada tahun-tahun berikutnya. Pada tahun 1943-1944, terjadi bala kelaparan di beberapa kota di India, seperti di Bengal dan Calcutta. Menurut data dari Departemen Antropologi, universitas Calcutta, tercatat 3.400.000 orang mati sewaktu bala kelaparan itu terjadi dan 46% dari populasi Bengal menderita penyakit (Yewangoe 1996, 42). Bala kelaparan yang terjadi di India membuat sebuah ketimpangan antara orang miskin dan orang kaya. Orang yang miskin sangat menderita karena kemiskinannya dan ketidakmampuannya untuk memenuhi kebutuhan pokok kehidupannya, sementara itu orang kaya semakin kaya karena mampu memanfaatkan peluang untuk mengambil keuntungan dari masyarakat bawah.             

Seorang mantan Perdana Menteri India, Jawaharlal Nehru menyalahkan pemerintah Inggris atas bala kelaparan yang terjadi ini. Nehru menyatakan bahwa pemerintah Inggris, yang pada saat itu berkuasa di India, kurang memiliki perencanaan dan keprihatinan akan masa depan India. Nehru juga menyatakan bahwa bala kelaparan ini merupakan “penghakiman terakhir” pemerintah Inggris  terhadap masyarakat India. Ia juga meyakini bahwa setelah peristiwa ini, maka pemerintah Inggris akan meninggalkan masyarakat India begitu saja (Yewangoe 1996, 43).           

Gambaran bala kelaparan pada tahun 1943-1944 ini, menunjukkan beberapa unsur yang ada di India, antara lain (Yewangoe 1996, 44):
  1. Kemiskinan di mana-mana;
  2. Perbedaan tajam antara kelompok-kelompok sosial, orang kaya sangat kecil jumlahnya, sementara orang miskin begitu banyak;
  3. Ada sikap masabodoh yang ditunjukkan oleh kelompok-kelompok sosial masyarakat ini. Orang-orang kaya tidak memerdulikan penderitaan orang miskin;
  4. Situasi miskin yang terjadi tidak dapat dipisahkan dari pemerintahan Inggris di India.       
Dalam perkembangan selanjutnya, India dinyatakan sebagai negara republik merdeka pada tahun 1947. Pada saat itu, India masih belum bisa lepas dari masalah kemiskinan. Namun demikian, pekabaran Injil terus berkembang, khususnya dalam masyarakat kelas bawah. Pekabaran Injil yang berkembang di India ini, diikuti juga dengan semangat gereja-gereja di India dalam menolong penduduk keluar dari masalah kemiskinannya. Gereja Katolik Roma sangat fokus terhadap masalah ini dan mencoba untuk memerangi kemiskinan di India.         

Gereja Katolik Roma membantu masyarakat untuk mencapai kebutuhan yang sangat mendasar, yaitu makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Ibu Theresa, biarawan Katolik Albania, menjadi salah satu contoh orang yang memiliki kepedulian terhadap kemiskinan di India dari lingkungan gereja. Ibu Theresa melakukan pelayanan kepada orang miskin di kota Calcutta. Ia juga membangun rumah sakit untuk orang sakit yang sedang sekarat dan untuk orang berpenyakit kusta. Pada tahun 1964, gereja Katolik Roma pun telah mempunyai 205 rumah sakit di India untuk menolong orang miskin (Ruck 1996, 259).         

Peran gereja Katolik dalam menolong penduduk India yang miskin merupakan suatu bentuk partisipasi gereja dalam memerangi kemiskinan. Gereja-gereja pada prinsipnya ingin mewujudkan kehidupan yang layak bagi seluruh umat manusia. Ibu Theresa juga menjadi sosok yang penting dalam perjalanan sejarah gereja di India. Partsipasi dan kesungguhan hatinya menolong orang miskin menjadi teladan bagi gereja-gereja di Asia untuk dapat menolong orang-orang miskin di negara-negara Asia lainnya.           

Kiprah Gereja-gereja di Sri Lanka Memerangi Kemiskinan            

Sri Lanka merupakan negara yang didominasi oleh agama Buddha dan Hindu. Sebelum negara ini disebut Sri Lanka, terlebih dahulu negara ini disebut Ceylon. Ceylon dibentuk dalam kebudayaan suku bangsa Sinhala yang beragama Buddha dan kebudayaan suku bangsa Tamil yang beragama Hindu (Phan 2011, 45). Bangsa Sinhala ini kemudian menjadikan Ceylon sebagai pusat pengajaran agama Buddha. Ceylon juga merupakan negara yang pernah dijajah oleh beberapa negara Eropa, antara lain Portugis (1505-1658), Belanda (1658-1796), dan Inggris pada tahun 1796-1900.

Negara-negara yang sempat menjajah Ceylon sekaligus membawa masuk agama Kristen ke Ceylon, namun dalam bentuk yang berbeda-beda. Sebagai contoh, ketika Belanda menguasai Ceylon, pihak Belanda memperkenalkan Gereja Hervomd (Gereja Negara Belanda Bersatu). Pada saat itu, gereja Katolik Roma dilarang untuk melakukan kegiatan dan Belanda menganggap semua gereja yang ada di Ceylon sebagai gereja Protestan. Namun keadaan gereja Katolik Roma berubah ketika pemerintah Inggris datang. Pemerintah kolonial Inggris menyatakan kebebasan beragama. Orang-orang Kristen Katolik yang dipaksa menjadi Protestan oleh Belanda kembali lagi ke gereja Katolik Roma (Rubianto1997, 18). Sampai pada tahun 1815, gereja Hervomd pun lenyap dari Ceylon dan para misionaris dari gereja Anglikanlah yang mulai mengabarkan Injil ke seluruh wilayah Ceylon.           

Pada saat itu, Ceylon merupakan negara yang dapat dikategorikan miskin. Kehadiran pemerintah Inggris sedikit demi sedikit memperbaiki sistem ekonomi.Namun demikian, sampai pada tahun 1850-an, perbaikan sistem  ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah Inggris belum bisa menolong penduduk untuk lepas dari masalah kemiskinannya. Badan-badan misi yang ada pada saat itu pun, baik dari gereja Protestan maupun gereja Anglikan, tidak bisa memberikan pengaruh yang signifikan untuk menolong penduduk mendapat kebutuhan dasar, sepeti makanan, pakaian dan tempat tinggal. Sistem ekonomi yang dikembangkan pemerintah Inggris menunjukkan perkembangan ke arah kapitalis, sehingga sistem ekonomi ini hanya memperkaya tuan-tuan tanah dan para pemegang modal (Rubianto1997, 18). Tuan-tuan tanah dan para pemegang modal ini berasal dari pemerintah Inggris sendiri. Namun demikian, para pekerja-pekerja berasal dari penduduk Ceylon dan karena itulah mereka masih tetap berada dalam kemiskinannya pada saat itu.          

Meskipun, pihak Inggris menguasai sistem ekonomi dan masih banyak penduduk yang miskin, namun pemerintah Inggris tetap memerhatikan pendidikan penduduk Ceylon. Pendidikan yang berlangsung dilakukan di sekolah-sekolah Katolik sehingga menghasilkan kelompok terpelajar yang mengerti tentang politik dan ekonomi. Kelompok-kelompok terpelajar inilah yang nantinya akan memulai gerakan nasionalisme di Ceylon. Pada tahun 1948, Ceylon dinyatakan merdeka sebagai anggota persemakmuran Inggris. Pada masa kemerdekaan ini, agama Buddha dan kebudayaan Sinhala kembali mendapat tempat dalam masyarakat karena bagi mereka agama Buddha adalah agama yang dekat dengan nasionalisme.      

Pada tahun 1972, Ceylon mengganti nama menjadi Republik Sri Lanka. Agama Buddha kembali menjadi agama utama. Namun demikian, dalam undang-undang Dasar negara, terdapat sebuah pasal yaitu pasal 10 yang menjamin kebebasan pikiran, kebebasan kata hati dan kebebasan agama, termasuk kebebasan untuk menganut agama menurut pilihan sendiri, dan untuk beralih agama lain menurut pilihan sendiri (Ruck 1997, 270). Dengan demikian, maka dapat dikatakan bahwa Sri Lanka secara politik telah merdeka dan mengalami kemajuan dalam penghargaan kebebasan kepada penduduk. Kemerdekaan yang didapat oleh Sri Lanka belum membantu mereka lepas dari masalah kemiskinan. Secara ekonomi, negara ini tetap mengalami kemiskinan karena menjamurnya daerah kumuh di perkotaan, pengangguran, kurang gizi, buta huruf, dan masih banyak anak-anak yang tidak dapat mengenyam pendidikan (Rubianto1997, 19).      

Masalah kemiskinan yang ada di Sri Lanka selanjutnya mendorong gereja untuk dapat melakukan suatu tindakan membebaskan penduduk Sri Lanka dari masalah kemiskinan sehingga dapat hidup dengan layak. Untuk dapat memerangi kemiskinan ini, gereja Katolik menekankan pada pelayanan sosial. Pastor Tisa Balasuriya bekerja sama dengan para demonstran dari kalangan bawah mencoba menarik perhatian pemerintah pada pemerasan perusahaan multinasional. Selain itu, ada juga seorang Yesuit yang bernama Aloysius Pieris. Ia mencoba mengembangkan suatu teologi pembebasan yang bergaya Asia dan memperhitungkan kemiskinan di Asia dan juga agama di Asia. Pieris menganjurkan orang Kristen agar menyerahkan dirinya untuk melayani orang miskin. Dia menggabungkan konsep anatta atau penolakan diri yang terdapat dalam agama Buddha dengan konsep pengabdian Kristen. Ia menegaskan bahwa dasar tugas panggilan umat Kristen di Sri Lanka adalah menjadi satu dengan orang miskin (Ruck 1996, 272). Dengan demikian, dapat terlihat bahwa peran gereja dalam memerangi kemiskinan di Sri Lanka sebetulnya berkaitan dengan dua hal, yaitu aksi langsung dan menumbuhkan kesadaran berdasarkan doktrin gereja.                  

Refleksi Teologis            

Seperti yang dikatakan oleh Aloysius Pieris, kemiskinan dan religiositas merupakan dua macam realitas besar di Asia. Kemiskinan ini bisa muncul dikarenakan struktur masyarakat yang ada, ketidakmampuan secara materi masyarakat untuk mencukupkan kebutuhannya sehari-hari, dan sebagainya. Dari perjalanan sejarah kekristenan di India dan Sri Lanka, dapat terlihat bahwa kemiskinan yang muncul dikarenakan struktur pemerintah penjajah yang terus menekan masyarakat sehingga masyarakat tidak dapat mencukupkan kebutuhan mereka. Sementara itu, pemerintah penjajah semakin kaya karena mengambil sumber daya alam dari India dan Sri Lanka.

Kemiskinan ini selanjutnya menjadi tantangan bagi gereja-gereja untuk menunjukkan kehadirannya di tengah-tengah orang miskin. Gereja terpanggil untuk dapat membebaskan orang miskin dari kemiskinannya. Ibu Theresa dari India dan Aloysius Pieris dari Sri Lanka telah menjadi salah satu contoh tokoh-tokoh yang menunjukkan kiprah gereja memerangi kemiskinan. Kiprah kedua tokoh ini dapat menjadi contoh bagi gereja-gereja di negara-negara lain di Asia untuk dapat menunjukkan kehadiran gereja membebaskan kaum miskin.            Pada saat ini, dapat terlihat semakin banyaknya orang miskin di Asia, khususnya di Indonesia. Penyebab kemiskinan ini pun semakin bertambah. Ada kemiskinan yang disebabkan struktur, materi, individu, dan spiritualitas. Kemiskinan yang bermacam-macam ini mendorong gereja untuk bersama-sama bersatu memberantas kemiskinan. Menurut pandangan saya, upaya memerangi kemiskinan ini memang tidak dapat dilakukan oleh satu denominasi gereja saja. Gereja-gereja di Asia dapat menyatukan visi untuk memerangi kemiskinan melalui pertemuan-pertemuan ekumenis seperti PGI, CCA, ataupun WCC. Semangat kesatuan ini dapat mendorong gereja-gereja membebaskan orang-orang miskin di sekitarnya.              

Sejarah perjuangan ibu Theresa dan Aloysius Pieris untuk menolong kaum miskin menjadi sebuah teladan untuk gereja dapat terus berkarya untuk menolong orang miskin. Namun demikian, yang penting untuk diingat pula ialah pertolongan yang diberikan gereja kepada orang miskin semata-mata bukanlah untuk menjadi tempat beramal. Pertolongan yang dilakukan gereja kepada orang-orang miskin semestinya memang ingin menunjukkan kepedulian gereja kepada orang miskin dan upaya gereja untuk mebebaskan mereka dari kemiskinannya. 

Daftar Acuan
Pieris, Aloysius. 1988. An Asian Theology of Liberation. USA: T&T Clark.Rasiah, Jeyaraj. 2011. Sri Lanka. Dalam Christianities in Asia, ed. Peter C.Phan. Singapore: Willey-Blackwell.
Rubianto, Vitus. 1997. Paradigma Asia: Pertautan Kemiskinan dan Kereligiusan  dalam Teologi Aloysius Pieris. Yogyakarta: Kanisius.
Ruck, Anne. 1997. Sejarah Gereja Asia. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Williams, Theodore. 1975. India, A Seething Subcontinent. Dalam The Church 
         in Asia, peny. Daniel Hoke. Chicago: Moody press.Yewangoe, A.A. 1996. Theologi Crucis di Asia. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Khotbah: Yesus Ditolak di Nazaret (Markus 6:1-13)

Kalau kita melihat kembali perjalanan kehidupan kita, tentunya kita sependapat bahwa sakit rasanya kalau terjadi penolakan-penolakan yang dilakukan oleh orang-orang pada keberadaan kita. Ketika ide kita, pikiran kita, pendapat kita, bahkan hal-hal baik yang ingin kita sampaikan kepada orang lain langsung ditolak begitu saja, bahkan dengan kata-kata yang cenderung kasar.             Kalau kita melihat kembali pengalaman Yesus yang ditolak ditempat asalnya sendiri, yaitu Nazaret, bahkan saat ia ditolak oleh orang-orang yang telah melihat mujizatNya sampai ia harus disalibkan, kira-kira bagaimana perasaan Yesus pada saat itu??? Apakah Ia memang senang atau malah sakit hati???                Kalau kita perhatikan bersama-sama dalam ayat 4, Yesus dengan sangat tegas berkata bahwa "Seorang nabi dihormati di mana-mana kecuali di tempat asalnya sendiri, di antara kaum keluarganya dan di rumahnya."                Lalu pertanyaannya adalah mengapa seorang nabi ditolak ditempatn

PENAFSIRAN KONTEKSTUAL KEJADIAN 19:1-29

Teks Kejadian 19:1-29 merupakan sebuah kisah mengenai kota Sodom dan Gomora yang dimusnahkan Allah karena dosa manusia. Teks ini merupakan salah satu bagian yang menggambarkan riwayat hidup Abraham. Secara keseluruhan teks ini menggambarkan dosa dari orang-orang Sodom dan Gomora yang tidak taat kepada Allah sehingga Allah menjadi murka dan menghancurkan kota tersebut. Namun demikian, pada zaman sekarang ini, teks Kejadian 19:1-29 sering disalahpahami. Dosa yang dilakukan oleh Sodom dan Gomora dikaitkan dengan dosa seksual, khususnya pada orang-orang homoseksual.             Ayat-ayat ini biasanya digunakan oleh banyak orang untuk mengecam kelompok homoseksual. Orang-orang yang melakukan hubungan seks dengan sesama jenis biasanya dikaitkan dengan dosa dari Sodom dan Gomora sehingga mereka dijauhi, dihindari, dan terkadang disingkirkan dalam lingkungan masyarakat. Tidak hanya itu saja, di gereja pun terkadang ketika ada warga jemaat yang mengetahui ada anggota jemaat lain yang men

George A. Lindbeck

George Lindbeck: Hidup dan Karyanya             George A. Lindbeck lahir pada tahun 1923 di Cina. Ia merupakan seorang anak misionaris Lutheran Amerika keturunan Swedia. Ia sempat sekolah di Cina dan Korea, lalu melanjutkan pendidikannya di universitas Gustavus Adolphus, Minnesota. Pada tahun 1955, ia menerima gelar Ph. D dari universitas Yale. Lindbeck mulai dikenal banyak orang karena keterlibatannya dalam dialog ekumenis. Selain itu, ia juga sempat mewakili Lutheran World Federation (LWF) sebagai pengamat dalam beberapa sesi dari Konsili Vatikan II  (BU website 2012).             Semasa hidupnya, Lindbeck sempat membuat beberapa karya dan diterbitkan dalam buku, antara lain The Future of Roman Catholic Theology pada tahun 1971 dan Infallibility pada tahun 1972 . Keterlibatan Lindbeck dalam gerakan ekumenis mulai memuncak ketika ia menerbitkan sebuah buku yang berjudul The Nature of Doctrine: Religion and Theology in a Postliberal Age . Dalam karyanya ini, Lindbeck kemudian