George
Lindbeck: Hidup dan Karyanya
George
A. Lindbeck lahir pada tahun 1923 di Cina. Ia merupakan seorang anak misionaris
Lutheran Amerika keturunan Swedia. Ia sempat sekolah di Cina dan Korea, lalu
melanjutkan pendidikannya di universitas Gustavus Adolphus, Minnesota. Pada
tahun 1955, ia menerima gelar Ph. D dari universitas Yale. Lindbeck mulai
dikenal banyak orang karena keterlibatannya dalam dialog ekumenis. Selain itu,
ia juga sempat mewakili Lutheran World
Federation (LWF) sebagai pengamat dalam beberapa sesi dari Konsili Vatikan
II (BU website 2012).
Semasa
hidupnya, Lindbeck sempat membuat beberapa karya dan diterbitkan dalam buku,
antara lain The Future of Roman Catholic Theology pada tahun 1971 dan Infallibility pada tahun 1972. Keterlibatan Lindbeck dalam
gerakan ekumenis mulai memuncak ketika ia menerbitkan sebuah buku yang berjudul
The Nature of Doctrine: Religion and
Theology in a Postliberal Age. Dalam karyanya ini, Lindbeck kemudian
dikenal sebagai salah seorang teolog pascaliberal (BU website 2012).
Pemikiran
George A. Lindbeck
Dalam
buku yang berjudul The Nature of Doctrine: Religion and Theology in a Postliberal Age, Lindbeck ingin menegaskan serta memfokuskan kembali identitas agama
Kristen. Ada beberapa hal yang dibahas dalam tulisan kelompok saat ini yang
berkaitan dengan pemikiran Lindbeck, antara lain tiga tipe pendekatan terhadap
agama, partikularitas, dialog antar-agama, serta tempat Kristus.
a. Tiga tipe
pendekatan terhadap Agama
Dalam
seluruh rangkaian pemikiran Lindbeck, ia menemukan tiga cara berbeda
untuk dapat
memahami agama, antara lain:
-
Kognitif-proposisional
Dalam pandangan ini agama adalah
masalah mengetahui (kognitif) kebenaran
tentang
Tuhan melalui berbagai pernyataan (proposisional) yang jelas dan dapat
dimengerti (Knitter 2008, 212). Proposisi yang dimaksudkan adalah yang benar
itu bisa ditangkap dengan pikiran dan kata-kata. Oleh karena itu, pandangan ini
menekankan bahwa fungsi doktrin gereja adalah memberikan klaim-klaim kebenaran
tentang kenyataan yang dapat diterima dan dipercaya (Lindbeck 1984, 16).
-
Eksperiensial-ekspresif
Gagasan eksperiensial-ekspresif
menyatakan bahwa kita mengetahui dan
mengenal
Tuhan dari apa yang kita alami, rasakan, atau ilhami di dalam diri kita
sendiri. Pengalaman batin ini sebetulnya datang melalui aktivitas Yang Ilahi
itu sendiri atau dengan kata lain, Roh menyentuh kita dan berkomunikasi dengan
kita (Knitter 2008, 212).
-
Linguistik-kultural
Pandangan yang ketiga ini merupakan
kombinasi dari pandangan kognitif
proposisional
dan eksperiensial-ekspresif (Hedges 2010, 152). Dalam pandangan ini, agama dapat
dipandang sebagai semacam kerangka atau medium kultural dan/atau linguistik
yang memberi bentuk pada keseluruhan hidup dan pemikiran (Lindbeck 1984, 33).
Bahasa (linguistik) yang diberikan agama dapat memberi bentuk pada pikiran dan
keyakinan agama kita. Tanpa bahasa religius, maka kita tidak akan memiliki
perasaan religius. Bahasa selanjutnya memberikan bentuk khusus pada pengalaman,
sehingga jika tidak ada bahasa maka tidak akan ada pengalaman (Knitter 2008 ,
213).
b. Partikularitas
Dalam
hal partikularitas, Lindbeck menyatakan bahwa tidak ada satu pun yang bisa
benar-benar
dikatakan “sama” bagi semua agama. Dengan kata lain, tidak ada satu pun
pengalaman religius yang sama di antara semua agama (Hedges 2010, 153).
Baginya, kalau bahasa menciptakan dunia kita, dan kalau bahasa kita
berbeda-beda, maka dunia kita akan berbeda, tanpa ada asas yang sama. Dengan
kata lain, bahasa dan budaya tidak akan memungkinkan adanya “satu esensi
eksperiensial tunggal yang universal” di dalam semua agama yang berbeda-beda (Knitter
2008 ,214).
Lindbeck sebenarnya sangat
menekankan pendekatan linguistik-kultural dalam pemikirannya. Hal ini
dikarenakan pendekatan tersebut dapat memberikan keterbukaan pada kemungkinan
perbedaan di antara agama-agama yang “tidak dapat dibandingkan” (incommensurable) (Lindbeck 1984, 49).
Jadi, kita tidak dapat memahami satu bahasa agama dengan menerjemahkannya ke
dalam satu bahasa agama lainnya karena mereka (agama) “tidak bisa
diterjemahkan”. Apabila menerjemahkan
bahasa Jerman ke dalam bahasa Inggris dengan tingkat ketepatan yang tinggi,
maka hal itu akan dimungkinkan, namun, menurut pandangan pascaliberal, tidak
dimungkinkan jika kita menerjemahkan “Buddha” ke dalam “Kristen” (Knitter 2008,
215).
Jadi,
meskipun kata-kata yang sama dipakai dalam berbagai agama, misalnya kata kasih
atau Tuhan, maka kata-kata tersebut sebetulnya mempunyai makna yang berbeda
dalam setiap agama. Agama dan pengalaman beragama bisa dimengerti dan diyakini
sebagai “benar” hanya di dalam teks tertentu atau di dalam sistem bahasa dari
agama tertentu sehingga kata kasih atau Tuhan yang dipahami agama Buddha akan
berbeda dengan kata kasih atau Tuhan yang dipahami agama Kristen (Knitter 2008
, 215).
c. Kristus
Menurut
pandangan Lindbeck, untuk mengetahui suatu agama, maka seseorang
harus memahami
kata-kata dalam agama tersebut. Apabila seseorang telah menjadi seorang
Kristen, maka ia harus mempelajari bahasa kekristenan itu sendiri dan sistem
simbolis dari kekristenan (Hedges 2010, 161). Bagi orang Kristen, ada dua kata
penting yang digunakan yaitu “hanya Kristus” (solus Christus) (Lindbeck 1984, 56). Jadi bagi Lindbeck, orang Kristen hanya dapat
berbicara dan berkata-kata secara benar di dalam bahasa “khusus” Kristen yaitu
“hanya Kristus”. Dengan kata lain, ini menunjukkan bahwa tidak ada keselamatan
tanpa Kristus.
Namun demikian, istilah solus Christus tidak menyangkali bahwa
ada kemungkinan keselamatan bagi orang non-Kristen (Lindbeck 1984, 56). Dengan
kata lain, istilah tersebut tidak berarti bahwa orang Kristen harus mencoret
agama-agama lain atau mengabaikan nilai-nilai agama lain. Lindbeck mengakui
bahwa meskipun Kristus merupakan saluran keselamatan satu-satunya, namun agama
lain mungkin merupakan “anak-anak sungai” penting yang mengalirkan air ke dalam
saluran tersebut (Knitter 2008 , 223).
Oleh karena itu, bagi Lindbeck, tugas misioner orang Kristen adalah
selalu mendorong orang Yahudi, Muslim, Buddha, Hindu untuk menjadi orang
Yahudi, Muslim, Buddha, dan Hindu yang baik. Dengan demikian, pemikiran
Lindbeck ini menggambarkan bahwa agama-agama di dunia memang sangat berbeda dan
hubungan di antara agama tersebut haruslah di bangun atas dasar mengakui,
menghargai, dan belajar dari semua perbedaan yang ada (Knitter 2008 , 225)
Tanggapan
Atas Pemikiran George A. Lindbeck
Dari
pemaparan kelompok akan pemikiran Lindbeck, kelompok juga memberikan beberapa
tanggapan atas pemikirannya tersebut, antara lain:
- Lindbeck
sangat menitikberatkan pada peranan bahasa dan kata-kata. Bahasa inilah
yang ia gunakan untuk menjawab situasi saat ini, khususnya dalam kaitan
hubungan antaragama. Kelompok sendiri setuju bahwa memang bahasa dan
kata-kata yang dipakai oleh setiap agama berbeda-beda, misalnya kata kasih
dan Tuhan dalam pemaparan di atas.
Namun demikian, dengan bahasa dan kata-kata yang berbeda inilah
kita dapat mengenal satu sama lain dan dapat saling memperkaya pengalaman
iman dari bahasa yang kita miliki masing-masing.
- Pandangan
Lindbeck tentang “hanya Kristus” (solus Christus) seakan-akan memberikan
gambaran bahwa ia adalah seorang eksklusivis. Hal ini dikarenakan
penggunaan kata agama lain sebagai “anak sungai” nampaknya ingin
memasukkan agama lain ke dalam bahasa kekristenan itu sendiri. Ketika
agama lain masuk dalam bahasa kekristenan itu, maka akan muncul pandangan
bahwa kita menginginkan pula “halaman belakang” agama lain sama dengan
halaman kita.
Sumber:
Hedges, Paul. 2010. Controversies in Interreligious Dialogue and the Theology of Relgions.
London: SCM Press.
Knitter, Paul. 2008. Pengantar Teologi Agama-Agama. Yogyakarta: Kanisius.
Lindbeck, George A. 1984. The Nature of Doctrine: Religion and Theology in a Postliberal
Age. London: SPCK.
(diakses 09 November 2012)
Komentar
Posting Komentar