Langsung ke konten utama

Agama dan Kemiskinan

Indonesia merupakan negara yang memiliki kemajemukan. Kemajemukan ini bermacam-macam, mulai dari suku, agama, budaya, bahasa daerah, dan sebagainya. Kemajemukan yang ada ini juga diikuti dengan masalah-masalah sosial yang cukup banyak di Indonesia. Kasus korupsi, hak asasi manusia, kemiskinan, keadilan sosial, lingkungan hidup, dan sebagainya. Di antara masalah-masalah sosial tersebut, penulis melihat bahwa masalah kemiskinan merupakan masalah yang paling besar dan sangat sulit untuk diselesaikan oleh pemerintah.            
Masalah kemiskinan ini juga selanjutnya berkaitan dengan agama-agama. Kemiskinan  menjadi tantangan bagi agama-agama untuk menyatakan dirinya dan kepeduliannya terhadap kaum miskin. Orang miskin merupakan orang-orang yang tidak dapat mencukupkan kebutuhan hidupnya sehingga mereka sering tertindas. Orang-orang miskin pun cenderung tidak mendapatkan hak-hak mereka, baik untuk hidup, mendapatkan keadilan, dan sebagainya. Kemiskinan ini pun selanjutnya terkait dengan manusia dan hak asasi manusia. Manusia sebagai makhluk ciptaan Allah yang sempurna seharusnya mendapatkan hak yang sama, seperti hak untuk makan, hak untuk mendapatkan tempat tinggal, hak untuk mendapat pendidikan dari negara. Namun demikian, di Indonesia pemenuhan akan hak-hak tersebut belum dirasakan secara maksimal oleh masyarakat. Masih banyak warga negara Indonesia yang masih berkutat dengan kemiskinannya dan sulit terlepas dari masalah kemiskinan. Oleh karena itu, melalui tulisan ini, penulis mencoba memaparkan masalah kemiskinan ini menurut pandangan agama-agama dan akan diakhiri dengan refleksi teologis dari sudut pandang teologi Kristen.

Kemiskinan Menurut Islam dan Kristen            

Masdar F. Mas’udi menyatakan bahwa kemiskinan mendapat perhatian secara khusus oleh agama-agama di Indonesia. Dalam teks-teks kitab suci agama manapun pasti masalah kemiskinan menjadi topik yang selalu dibicarakan. Namun demikian, menurutnya sampai saat ini masih banyak orang-orang muslim yang meragukan kalau kemiskinan dapat diberantas. Bagi mereka kemiskinan itu tidak bisa dihilangkan. Agama-agama sebetulnya tidak memandang jelek terhadap kemiskinan, tetapi agama-agama, termasuk juga Islam, lebih mengkritik kepada orang yang menyimpan kekayaan mereka hanya untuk kepentingan mereka sendiri.            
Masalah muncul kepada orang-orang kaya yang terus menerus menumpuk uang untuk kekayaan mereka sendiri. Dalam ajaran agama Islam, orang miskin seharusnya disantuni dan mendapatkan santunan. Terdapat perumpamaan dalam agama Islam bahwa orang miskin bisa masuk sorga seribu tahun sebelum orang kaya, sementara itu orang kaya begitu sulit untuk masuk sorga. Hal ini seperti seekor gajah yang masuk ke dalam lubang jarum, sesuatu yang mustahil. Selain itu, dalam hadis, terdapat sebuah doa nabi yang berkata, “Ya Allah, jadikanlah kami orang miskin dan himpunlah kami nanti di akherat bersama-sama orang yang miskin” (Mas’udi 1994, 20). Dengan demikian, agama Islam sebetulnya mempersoalkan orang-orang yang memiliki kekayaan yang berlebihdan dan tidak menyantuni orang miskin.
Dalam pandangan Kristen, orang kaya dan orang miskin dapat terlihat dalam Kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Perjanjian Lama melihat bahwa kekayaan merupakan tanda berkat dari Allah. Kitab Kejadian menjelaskan dengan detail orang-orang yang mendapatkan kekayaan, seperti Abraham, Ishak, Yakub, atau Yusuf. Namun demikian, dalam Perjanjian Lama, kemurahan hati dan keramahan terhadap sahabat dan musuh-musuh orang-orang di Alkitab ini menjadi ciri mereka. Jadi, kekayaan dan kemurahan hati berjalan bersama-sama dalam tradisi Perjanjian Lama (Mandaru 1992, 25).            
Dalam Perjanjian Lama juga ditekankan bahwa Yahwe merupakan pembela orang miskin. Semua kemiskinan sebetulnya harus dilenyapkan dan orang-orang miskin harus dibebaskan. Dasar teologis ini dapat terlihat lebih mendalam yaitu pada saat Yahwe sendiri membebaskan bangsa Israel sewaktu mereka menjadi budak di Mesir. Oleh karena itulah, setiap orang seharusnya bertindak sama seperti Yahwe yang dapat membebaskan orang dari kemiskinannya dan ketidakberdayaannya.           
Dalam Perjanjian Baru,  orang kaya sering sekali dikritik oleh Yesus. Namun demikian, jelas sekali kesinambungan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru tetap mengingatkan untuk memberikan pembebasan kepada orang miskin. Sosok Yesus digambarkan sebagai seorang yang berpihak kepada orang miskin dan tak berdaya. Orang-orang miskin dalam Perjanjian Baru sering sekali digambarkan sebagai orang yang tak berdaya, sebagai contoh yaitu Lazarus, seorang pengemis pincang yang meninggal dalam kemiskinan (Lukas 16:19). Ada juga pengemis yang kelaparan dan berbaring dipinggir jalan lalu diundang ke perjamuan (Lukas 14:13, 21) (Mandaru 1992, 49).           
Kehadiran Yesus dan pewartaannya tentang Kerajaan Allah ternyata mampu membangkitkan harapan orang miskin. Dalam pemberitaan Kristus tentang Kerajaan Allah, Ia menyatakan bahwa tanda-tanda tentang Kerajaan Allah sebetulnya mulai nyata. Hal ini dapat terlihat dari orang buta, timpang, orang kusta, dan tuli dipulihkan oleh Kristus. Tidak hanya itu saja, orang mati pun dapat dibangkitkan oleh Kristus. Inilah yang menjadi tanda awal terwujudnya Kerajaan Allah itu, yang akan mencapai kepenuhannya pada akhirnya nanti. Saat itu Allah sendiri akan membalikkan semua situasi kehidupan manusia, khususnya orang-orang miskin serta membereskan semua kekacauan dan ketidakadilan pada zaman ini (Mandaru 1992, 50). 

Refleksi Teologis
Dari pemaparan mengenai agama dan kemiskinan ini, dapat terlihat bahwa agama Islam dan Kristen menaruh kepeduliaan terhadap orang-orang miskin. Namun demikian, cara dari agama tersebut memang berbeda-beda. Memang benar bahwa kemiskinan berkaitan dengan manusia dan hak asasi manusia. Hak manusia itu untuk hidup dan hak mereka untuk mendapat kecukupan akan kebutuhan hidupnya.Masalah kemiskinan ini sebetulnya menjadi masalah bersama yang dihadapi oleh agama-agama. Semua agama jelas ingin memberikan pembebasan kepada umatnya yang miskin dan ingin memberikan kehidupan yang layak kepada seluruh umatnya. Menurut pandangan Syahrin Harahap, semua agama mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan. Nilai kemanusiaan ini menekankan kepada  harmonitas kehidupan manusia dan juga harmonitas yang bersifat lintas agama (Harahap 2011, 16). Menurut pandangan penulis,harmonitas inilah yang akan menciptakan kerukunan umat beragama. Adanya masalah kemanusiaan yang sama membuat semua agama mempunyai pergumulan yang sama yaitu bagaimana dapat memerangi kemiskinan ini. Dengan adanya masalah ini, semua agama dapat memiliki satu visi dan mampu menjalin kerukunan guna mengatasi masalah kemiskinan.Mukti Ali menyatakan terdapat beberapa bentuk dialog antaragama, antara lain dialog kehidupan, dialog kerja sosial, dialog antar-monastik, dialog untuk doa bersama, dan dialog diskusi teologis. Melihat masalah kemiskinan yang ada ini, dialog kerja sosial merupakan contoh dialog yang cocok untuk diterapkan dalam kehidupan masyarakat. Dialog kerja sosial merupakan suatu dialog yang melakukan pekerjaan-pekerjaan sosial untuk meningkatkan kualitas umat manusia dan pembebasan integral umat manusia (Ali 1994, 11). Alasan menggunakan bentuk dialog kerja sosial ini adalah untuk meningkatkan kerjasama antara pemeluk-pemeluknya, hingga dengan demikian secara bersama-sama setiap orang dapat menegakkan keadilan, perdamaian, dan persaudaraan di Indonesia. Jika dialog ini ditiadakan, maka yang muncul adalah sikap mengabaikan dan juga penindasan satu kelompok kepada kelompok lainnya (Ali 1994, 15). Dengan demikian, pengembangan dialog kerja sosial dapat membantu semua agama mengatasi masalah kemiskinan bersama-sama.


Daftar Acuan
Ali, Mukti. H. A. 1994. Dialog kerjasama Agama-agama Dalam Menanggulangi Kemiskinan. Dalam Dialog Antarumat Beragama Membangun Pilar-pilar Keindonesiaan yang Kukuh, peny. Weinata Sairin, dkk, 9-18. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Harahap, Syahrin. 2011. Teologi Kerukunan. Jakarta: Prenada Media Group.Mandaru, Hortensius. 1992. Solidaritas Kaya-Miskin Menurut Lukas. Yogyakarta: Kanisius.
Mas’udi, Masdar F. 1994. Dialog & Penanggulangan Kemiskinan. Dalam Dialog Antarumat Beragama Membangun Pilar-pilar Keindonesiaan yang Kukuh, peny. Weinata Sairin, dkk,19-24. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Khotbah: Yesus Ditolak di Nazaret (Markus 6:1-13)

Kalau kita melihat kembali perjalanan kehidupan kita, tentunya kita sependapat bahwa sakit rasanya kalau terjadi penolakan-penolakan yang dilakukan oleh orang-orang pada keberadaan kita. Ketika ide kita, pikiran kita, pendapat kita, bahkan hal-hal baik yang ingin kita sampaikan kepada orang lain langsung ditolak begitu saja, bahkan dengan kata-kata yang cenderung kasar.             Kalau kita melihat kembali pengalaman Yesus yang ditolak ditempat asalnya sendiri, yaitu Nazaret, bahkan saat ia ditolak oleh orang-orang yang telah melihat mujizatNya sampai ia harus disalibkan, kira-kira bagaimana perasaan Yesus pada saat itu??? Apakah Ia memang senang atau malah sakit hati???                Kalau kita perhatikan bersama-sama dalam ayat 4, Yesus dengan sangat tegas berkata bahwa "Seorang nabi dihormati di mana-mana kecuali di tempat asalnya sendiri, di antara kaum keluarganya dan di rumahnya."                Lalu pertanyaannya adalah mengapa seorang nabi ditolak ditempatn

PENAFSIRAN KONTEKSTUAL KEJADIAN 19:1-29

Teks Kejadian 19:1-29 merupakan sebuah kisah mengenai kota Sodom dan Gomora yang dimusnahkan Allah karena dosa manusia. Teks ini merupakan salah satu bagian yang menggambarkan riwayat hidup Abraham. Secara keseluruhan teks ini menggambarkan dosa dari orang-orang Sodom dan Gomora yang tidak taat kepada Allah sehingga Allah menjadi murka dan menghancurkan kota tersebut. Namun demikian, pada zaman sekarang ini, teks Kejadian 19:1-29 sering disalahpahami. Dosa yang dilakukan oleh Sodom dan Gomora dikaitkan dengan dosa seksual, khususnya pada orang-orang homoseksual.             Ayat-ayat ini biasanya digunakan oleh banyak orang untuk mengecam kelompok homoseksual. Orang-orang yang melakukan hubungan seks dengan sesama jenis biasanya dikaitkan dengan dosa dari Sodom dan Gomora sehingga mereka dijauhi, dihindari, dan terkadang disingkirkan dalam lingkungan masyarakat. Tidak hanya itu saja, di gereja pun terkadang ketika ada warga jemaat yang mengetahui ada anggota jemaat lain yang men

George A. Lindbeck

George Lindbeck: Hidup dan Karyanya             George A. Lindbeck lahir pada tahun 1923 di Cina. Ia merupakan seorang anak misionaris Lutheran Amerika keturunan Swedia. Ia sempat sekolah di Cina dan Korea, lalu melanjutkan pendidikannya di universitas Gustavus Adolphus, Minnesota. Pada tahun 1955, ia menerima gelar Ph. D dari universitas Yale. Lindbeck mulai dikenal banyak orang karena keterlibatannya dalam dialog ekumenis. Selain itu, ia juga sempat mewakili Lutheran World Federation (LWF) sebagai pengamat dalam beberapa sesi dari Konsili Vatikan II  (BU website 2012).             Semasa hidupnya, Lindbeck sempat membuat beberapa karya dan diterbitkan dalam buku, antara lain The Future of Roman Catholic Theology pada tahun 1971 dan Infallibility pada tahun 1972 . Keterlibatan Lindbeck dalam gerakan ekumenis mulai memuncak ketika ia menerbitkan sebuah buku yang berjudul The Nature of Doctrine: Religion and Theology in a Postliberal Age . Dalam karyanya ini, Lindbeck kemudian